Sejarah Minat  Hobi sampai Keilmuan Kepurbakalaan di Indonesia – Perhatian terhadap peninggalan peradaban purbakala di Indonesia telah berkembang sejak abad ke-18, di mana pada saat itu ilmu pengetahuan modern mulai berkembang. Pada awalnya, bidang arkeologi hanya dianggap sebagai minat individu dan kelompok minat di dalam ilmu sosial antropologi, namun semakin berkembangnya minat untuk mengeksplorasi misteri budaya lampau membuat bidang ini semakin populer tidak hanya di Eropa, tapi juga di wilayah-wilayah kolonial termasuk Indonesia yang kala itu masih disebut Hindia Belanda.

Sejarah minat kepurbakalaan velvetmedia.id di Indonesia sudah dimulai sebelumnya oleh sejumlah ilmuwan, seperti naturalis Jerman G.E Rumphius. Kemudian, minat ini dilakukan oleh berbagai profesi di Hindia Belanda, termasuk partikelir atau pegawai pemerintah yang berkecimpung di bidang arkeologi. Namun, semasa Hindia Belanda, para ilmuwan mulai serius dengan bidang ini, dan pada tahun 1778 berdirilah lembaga bernama Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (BG) yang berpusat di Batavia.

Meskipun pada awalnya arkeologi hanya dianggap sebagai minat individu, namun dengan semakin berkembangnya sains dan teknologi, bidang ini menjadi semakin penting dan menuntut keahlian yang lebih tinggi. Oleh karena itu, penting bagi para ahli arkeologi untuk terus mengikuti perkembangan sains dan teknologi agar dapat memahami peninggalan peradaban purbakala dengan lebih baik dan akurat.

BG, atau Bataviaasch Genootschap, adalah sebuah organisasi yang melakukan pengumpulan dan dokumentasi terhadap kebudayaan dan peninggalan purbakala di Nusantara. Laporan hasil dokumentasi yang dilakukan oleh BG di dalam Verdandelingen van het Bataviaasch Genootschap (VBG) melibatkan ilmuwan dan cendekia lokal pada era Politik Etis abad ke-20 awal. Meskipun kekuasaan Belanda sempat terhenti di Hindia, Inggris melanjutkannya dengan ketertarikan yang tinggi terhadap kebudayaan di Nusantara. Salah satu tokoh yang terkenal adalah Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles yang mengedit buku the History of Java yang mendeskripsikan secara rinci tentang bangunan dan benda purbakala di Jawa. Hal tersebut menjadikan buku tersebut sebagai laporan mata-mata untuk mengenal daerah yang hendak ditaklukkan.

Pada masa kependudukan Inggris, BG diganti namanya menjadi Literary Society dan pengumpulan data tetap dilakukan hingga Inggris tidak lagi berkuasa dan kekuasaan dikembalikan ke Belanda pada 1816. Sejarah minat kepurbakalaan di Indonesia kembali dipegang oleh Belanda yang kemudian dipelopori oleh Caspar Georg Karl Reinwardt, pendiri Kebun Raya Bogor. BG kembali aktif dengan pencatatan, dokumentasi termasuk fotografi, dan pemugaran.

Terlibatnya Theodoor van Erp adalah hal yang paling momentum dalam sejarah minat kepurbakalaan di Indonesia. Dia mempelopori kegiatan dokumentasi keberadaan purbakala Candi Borobudur pada tahun 1870-an, saat fotografi sedang populer. Di masa politik etis, dia juga dipercaya oleh pemerintah untuk memugar candi tersebut dari tahun 1907 hingga 1911.

Dalam melaksanakan tugasnya, BG menggunakan teknologi dan sains dalam dokumentasi, seperti fotografi dan pemugaran. Hal ini menunjukkan bahwa dokumentasi dan pemugaran purbakala di Indonesia tidak hanya didasarkan pada keinginan untuk mengetahui sejarah, tetapi juga melibatkan kemajuan teknologi dan sains. Dalam konteks ini, BG dapat dianggap sebagai pelopor dalam pengumpulan dan dokumentasi kebudayaan serta peninggalan purbakala di Indonesia dengan menggunakan teknologi dan sains sebagai pendukungnya.

Di antara pegiat purbakala yang aktif di Indonesia, ada satu nama yang menarik perhatian yaitu J.W. Ijzerman. Beliau bukanlah seorang arkeolog seperti kebanyakan pegiat purbakala lainnya, melainkan seorang insinyur sipil yang juga menjadi inisiator pendirian ITB. Meski begitu, Ijzerman berhasil menemukan kaki asli Candi Borobudur yang terbenam pada tahun 1885 ketika sedang berada di Yogyakarta bersama dengan perkumpulan arkeolog bernama Archeologische Vereniging (AV). Keterlibatan Ijzerman dalam dunia arkeologi ini menunjukkan bahwa sains dan teknologi juga dapat berperan penting dalam bidang kepurbakalaan.

Selain itu, AV yang dipimpin oleh Ijzerman juga pernah melibatkan fotografer terkenal Indonesia, Kassian Cephas, dalam proses dokumentasi temuan-temuan mereka, termasuk relief di Candi Borobudur. Hal ini menunjukkan bahwa kolaborasi antara berbagai disiplin ilmu, seperti arkeologi, sains, dan teknologi, dapat menghasilkan karya-karya yang bermanfaat bagi dunia kepurbakalaan.

Di Indonesia, minat terhadap kepurbakalaan semakin berkembang seiring dengan waktu. Pada tanggal 14 Juni 1913, BG, salah satu tokoh kepurbakalaan di Indonesia, memimpin inisiatif pendirian Oudheidkundige Dienst (OD) yang berfungsi mengurus hal kepurbakalaan di Jawa dan Madura. Tanggal inilah yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Purbakala Nasional di Indonesia. Kepemimpinan Nicholas Johannes Krom, seorang orientalis, epigraf, arkeolog, sejarawan, dan ahli budaya Indonesia, sebagai ketua OD menunjukkan bahwa kepurbakalaan di Indonesia tidak hanya bisa dikerjakan oleh orang-orang dari luar negeri, melainkan juga oleh orang-orang lokal yang memiliki pengetahuan dan keterampilan di bidang sains, teknologi, dan sejarah.

Dalam era yang semakin berkembang dan teknologi yang semakin maju, semakin penting bagi dunia kepurbakalaan untuk membuka diri terhadap berbagai disiplin ilmu, termasuk sains dan teknologi. Dengan demikian, diharapkan bahwa kepurbakalaan di Indonesia dapat terus berkembang dan memberikan kontribusi yang positif bagi bangsa dan negara.

Posisi Oudheidkundige Dienst in Indonesie (ODI) sangat kuat dalam pengaturan kebijakan konservasi peninggalan purbakala dan kehidupan budaya masyarakat lokal. Melalui kegiatan sains dan teknologi, ODI berupaya untuk memengaruhi pengambilan keputusan dalam pelestarian warisan budaya di seluruh Nusantara. Meski pernah mengalami vakum ketika Jepang menginvasi Hindia Belanda pada tahun 1942, ODI terus berjuang untuk mengembangkan aktivitasnya pasca kemerdekaan Indonesia.

Sebagai lembaga yang kompeten di bidang kepurbakalaan, ODI telah mengalami beberapa perubahan di masa lalu. Pemerintah kolonial sempat menghidupkan kembali ODI pada tahun 1945 setelah Jepang menyerah kepada Sekutu, namun kini lembaga tersebut telah berganti nama menjadi Oudheidkundige Dienst in Indonesie (ODI). Para ilmuwan terus aktif mendokumentasikan pelbagai peninggalan cagar purbakala secara verbal, visual, video, dan piktorial dengan memanfaatkan sains dan teknologi terkini.

ODI juga telah bekerja sama dengan Djawatan Urusan Barang-Barang Purbakala dalam menjaga kelestarian warisan budaya. Banyak mantan pekerja dinas ODI turut membantu Djawatan Urusan Barang-barang Purbakala ini karena khawatir akan rusak dan hilang kalau tidak dilakukan perlindungan. Dalam era teknologi modern seperti sekarang, ODI terus berinovasi dan mengembangkan metode pelestarian warisan budaya dengan memanfaatkan sains dan teknologi. Hal ini membuktikan bahwa ODI tetap menjadi lembaga yang kuat dalam pengaturan kebijakan konservasi peninggalan purbakala dan kehidupan budaya masyarakat lokal.

Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1949, Dinas Purbakala dibentuk sebagai pengganti Djawatan Purbakala dan ODI yang sebelumnya diakui oleh pemerintah Belanda. Sejarah minat kepurbakalaan di Indonesia menunjukkan bahwa dinas ini berada di bawah naungan Kementerian Pengadjaran, Pendidikan, dan Kebudajaan pada tahun 1951, dengan R. Soekmono sebagai ketuanya. Soekmono adalah sarjana arkeologi pertama di Indonesia yang berhasil memugar kembali candi Borobudur pada tahun 1973 sampai 1983. Referensi pemugaran ini berasal dari dokumentasi pemugaran pertama oleh Theodoor van Erp.

Dinas Purbakala kemudian berubah nama menjadi Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional (LPPN) pada tahun 1964. Pada masa ini, pekerjaan LPPN meluas hingga membuka kantor cabang di luar Jawa. Pekerjaan LPPN adalah perlindungan dan pemugaran dengan cara yang lebih terstruktur, di bawah Direktorat Kebudajaan. Di dalamnya, dibagi antara pekerjaan masa prasejarah dan klasik (Hindu-Buddha).

Baca juga: Selain Jaringan Komunikasi 4G dan 5G, Kini Ilmuwan Kembangkan 6G

Transformasi dan pelestarian purbakala di Indonesia terus dilakukan oleh dinas ini hingga saat ini. Berbagai kebijakan memengaruhi aktivitas mereka, yang terkadang menghambat atau memperlancar pekerjaan. Selain lewat kedinasan dan direktorat, organisasi kepurbakalaan di Indonesia juga berkembang dan selalu didukung oleh undang-undang. Undang-undang tersebut meliputi Monumenten Ordonantie 1931 Stadblad 238 dari masa Hindia Belanda, UU No.5 tahun 1992 tentang Cagar Budaya, hingga yang baru-baru ini dalam UU No.11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya.

Pentingnya pelestarian purbakala di Indonesia memang tidak dapat diragukan lagi. Namun, selain melalui pekerjaan manual, sains dan teknologi juga dapat dimanfaatkan untuk mempercepat dan mempermudah pekerjaan di bidang ini. Oleh karena itu, peran sains dan teknologi dalam kegiatan pelestarian purbakala di Indonesia harus terus dikembangkan dan ditingkatkan. Dengan begitu, pelestarian dan pengembangan warisan budaya Indonesia dapat dilakukan dengan cara yang lebih efektif dan efisien.