Category: Pengaruh Teknologi

Curi 60 Juta Dolar Scammer asal Indonesia Untuk Dana Bansos AS

Curi 60 Juta Dolar Scammer asal Indonesia Untuk Dana Bansos AS – Dua pelaku penipuan digital asal Indonesia berhasil mencuri dana bantuan sosial Covid-19 senilai 60 juta dolar AS dari pemerintah Amerika Serikat melalui situs palsu. Pelaku menggunakan teknologi dan sains untuk membuat situs yang serupa dengan situs resmi pemerintah AS dan memanfaatkan program Pandemic Unemployment Assistance untuk mencuri data pribadi warga negara AS.

Setelah beroperasi sejak Mei 2020, pelaku akhirnya tertangkap pada tanggal 1 Maret 2021 di Surabaya oleh petugas Siber Distreskrimsus Polda Jatim. Melalui penggunaan software untuk mengirimkan SMS blast ke 20 juta warga negara AS, pelaku berhasil mengecoh sebanyak 30.000 warga negara AS untuk mengisi formulir di situs palsu tersebut. Tindakan pelaku ini merupakan pelanggaran serius dalam dunia sains dan teknologi, dan harus ditindak dengan tegas oleh pihak berwenang.

Sejumlah warga negara Amerika Serikat telah menjadi korban penyalahgunaan data oleh pelaku berinisial S yang saat ini masih dalam daftar pencarian orang (DPO). Data tersebut dikumpulkan oleh SFR dan diserahkan ke S melalui aplikasi WhatsApp dan Telegram.

Tersangka S menggunakan data pribadi velvetmedia.id tersebut untuk meminta bantuan ke pemerintah AS lewat program PUA. Diperkirakan pelaku telah menerima dana senilai 60 juta dolar AS atau sekitar Rp 868 miliar. Dalam kasus ini, sains dan teknologi dapat menjadi solusi untuk mengamankan data pribadi dan mencegah penyalahgunaan data di masa depan.

Penerapan keamanan siber yang kuat dan penggunaan teknologi enkripsi dapat membantu melindungi data pribadi pengguna dari ancaman kejahatan siber. Sebagai warga dunia digital, kita harus menjaga data pribadi kita dengan baik dan selalu waspada terhadap ancaman yang muncul.

Baca juga: Untuk Hidupkan Kembali Mamut Berbulu Kolaborasi Ilmuwan dan Pengusaha

Menurut Farman, MZMSBP memiliki kemampuan untuk membuat situs web palsu. Sementara itu, SFR, seorang lulusan SMK di Jawa Timur, juga terlibat dalam kasus penipuan serupa. Farman mengungkapkan bahwa kedua pelaku menjadi perhatian karena terlibat dalam beberapa kasus penipuan sebelumnya. Polda Jatim bersama Mabes Polri dan FBI telah melakukan penyelidikan selama tiga bulan terkait kasus ini.

Farman menambahkan bahwa Polda Jatim masih melakukan pendalaman dan berkoordinasi dengan FBI karena kasus ini menyangkut warga negara AS. Kasus ini melibatkan teknologi dan sains dalam bidang informasi dan transaksi elektronik. Kedua pelaku dijerat dengan pasal 32 ayat (2) Jo pasal 48 ayat (2) UU RI nomor 19 tahun 2016 tentang perubahan atas UU nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik Jo pasal 55 ayat (1) KUHP, dengan ancaman hukuman 9 tahun penjara dan/atau denda paling banyak Rp 3 miliar.

Penyelidik dari Direktorat Reskrimsus Polda Jawa Timur terus mengembangkan kasus ini dan menemukan satu terduga pelaku lagi yang merupakan warga negara asing. Penyelidikan kasus ini melibatkan teknologi dan sains dalam bidang informasi dan transaksi elektronik. Kerja sama antara Polda Jawa Timur dan FBI menunjukkan upaya profesional dalam menangani kasus ini dan sedang menyelidiki potensi keterlibatan sindikat internasional yang lebih luas.

E-tatoo: Tato Elektronik yang Berfungsi untuk Mengukur Tingkat Stres

E-tatoo: Tato Elektronik yang Berfungsi untuk Mengukur Tingkat Stres – Stres dapat diartikan sebagai respons tubuh terhadap situasi atau tuntutan yang memerlukan tindakan atau perhatian. Hal ini dapat menyebabkan ketegangan fisik, emosional, atau psikologis pada seseorang. Meski setiap orang mengalami stres dalam kadar tertentu, cara meresponsnya dapat berdampak pada kesejahteraan secara keseluruhan. Penyebab stres dapat bermacam-macam, seperti pekerjaan, uang, hubungan, penyakit, atau bahkan peristiwa besar seperti pandemi Covid-19 dan bencana alam.

Dalam bidang sains dan teknologi velvetmedia.id, para peneliti di The University of Texas di Austin dan Texas A&M University telah mengembangkan teknologi tato elektronik (e-tattoo) untuk memantau stres emosional seseorang. Mereka mengaplikasikan grafen sebagai bahan dasar tato elektronik yang dapat menempel di telapak tangan dan terhubung ke jam tangan pintar. Tato ini hampir tidak terlihat, tidak mengganggu, dan mengurangi stigma sosial yang timbul saat memakai perangkat di tempat yang menonjol di tubuh.

Dalam makalah baru yang berjudul “Graphene e-tattoos for unobstructive ambulatory electrodermal activity sensing on the palm enabled by heterogeneous serpentine ribbons”, yang diterbitkan di jurnal Nature Communications, para peneliti menjelaskan tentang penggunaan teknologi tato elektronik untuk pemantauan stres emosional. Diharapkan teknologi ini dapat membantu orang dengan masalah kesehatan mental dan meningkatkan kualitas hidup mereka.

Lu bersama kolaboratornya telah berhasil memajukan teknologi e-tattoo yang dapat dikenakan selama bertahun-tahun. Dalam penelitian ini, mereka menggunakan bahan graphene sebagai favorit karena ketipisannya dan kemampuannya dalam mengukur potensi listrik dari tubuh manusia yang menghasilkan pembacaan yang sangat akurat. Namun, bahan ultra-tipis seperti itu tidak bisa menangani banyak, jika ada tekanan, sehingga pengaplikasiannya pada bagian tubuh yang banyak bergerak menjadi sebuah tantangan, seperti telapak tangan/pergelangan tangan.

Baca juga: Mereka yang Tingkat Pendidikan dan Penghasilannya Rendah Rentan Sebar Hoaks

Pada penemuan ini, saus rahasia adalah bagaimana e-tato di telapak tangan berhasil mentransfer data ke sirkuit yang kaku. Dalam hal ini, jam tangan pintar yang tersedia secara komersial, di luar lab, menjadi pengaturan rawat jalan. Mereka menggunakan pita ular yang memiliki dua lapisan graphene dan emas yang sebagian tumpang tindih. Dengan meliuk-liuk pita bolak-balik, ia dapat mengatasi tekanan yang timbul akibat gerakan tangan untuk aktivitas sehari-hari seperti memegang setir saat mengemudi, membuka pintu, berlari, dan lain sebagainya.

Teknologi pemantauan telapak tangan saat ini menggunakan elektroda besar yang jatuh dan sangat terlihat. Atau sensor EDA yang diterapkan ke bagian tubuh lainnya, yang memberikan pembacaan yang kurang akurat. Namun, dengan menggunakan teknologi e-tattoo yang dikembangkan, dapat memungkinkan untuk memantau telapak tangan dengan lebih akurat dan lebih tidak terlihat.

Penelitian ini terinspirasi oleh virtual reality (VR), game, dan metaverse yang masuk untuk memperbaiki teknologi pemantauan telapak tangan. Lu mengatakan para peneliti terus berusaha untuk memperbaiki teknologi ini karena dapat berpotensi besar dalam bidang sains dan teknologi. VR digunakan dalam beberapa kasus untuk mengobati penyakit mental; namun, kemampuan kesadaran manusia dalam VR tetap kurang dalam banyak hal. Sehingga penelitian ini dapat membantu dalam meningkatkan kemampuan kesadaran manusia dalam VR yang berpotensi membantu dalam pengobatan penyakit mental.

Mereka yang Tingkat Pendidikan dan Penghasilannya Rendah Rentan Sebar Hoaks

Mereka yang Tingkat Pendidikan dan Penghasilannya Rendah Rentan Sebar Hoaks – Hoaks di Papua dan pemilihan kepala daerah serentak di masa depan diperkirakan akan terus menjadi persoalan di Indonesia. Namun, upaya untuk memberantas hoaks dan misinformasi di media sosial velvetmedia.id telah dilakukan sejak 2017 oleh pemerintah, akademisi, pekerja media, dan pegiat literasi.

Program literasi yang dirancang dengan target individu telah diterapkan karena mereka dianggap sebagai aktor kunci yang menentukan tersebarnya hoaks dan misinformasi di media sosial. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Laeeq Khan dari Ohio University dan saya, yang diterbitkan di jurnal Behavior and Information Technology, menunjukkan bahwa rendahnya tingkat pendidikan dan ekonomi seseorang membuat mereka lebih rentan untuk menyebarkan hoaks. Temuan ini dapat menjadi petunjuk dalam penyusunan program literasi yang lebih tepat sasaran.

Dalam penelitian kami, kami ingin mengetahui bagaimana kemampuan seseorang dalam mencari, membagi, dan memverifikasi informasi mempengaruhi perilaku mereka dalam menyebarkan hoaks. Penelitian ini melibatkan 396 responden yang terdiri dari mahasiswa di tiga universitas di negeri dan swasta di Jakarta serta pekerja media di beberapa wilayah di Indonesia.

Riset ini dilakukan pada Januari-Februari 2018 dengan metode pengambilan data berupa kuisioner yang disebar melalui jaringan internet. Kami memilih metode ini untuk menjangkau responden dengan lebih mudah. Dalam kuisioner kami, kami menanyakan tingkat kemampuan masing-masing responden dalam mencari, membagi, dan memverifikasi informasi. Kami memilih menyebarkan kuisioner ke pekerja media dan mahasiswa dengan asumsi bahwa kelompok ini memiliki pengetahuan dan keahlian lebih baik dalam mengenali misinformasi.

Kami berharap hasil penelitian kami dapat membantu dalam penyusunan program literasi yang lebih tepat sasaran untuk memberantas hoaks dan misinformasi di media sosial. Dalam era sains dan teknologi yang semakin maju, penting bagi kita untuk menjadi lebih kritis dalam mencari dan memverifikasi informasi yang kita terima.

Baca juga: Dapatkah Chatbot Menggeser Interaksi Manusia?

Dalam penelitian ini, mayoritas responden memiliki latar belakang pendidikan S1 dan berpenghasilan sesuai dengan Upah Minimum Provinsi Jakarta. Namun, terdapat korelasi negatif yang signifikan antara tingkat pendidikan dan penghasilan dengan perilaku menyebarkan misinformasi tanpa memverifikasinya lebih dulu. Temuan ini menunjukkan bahwa program literasi informasi perlu diberikan kepada individu tanpa membedakan usia, terutama individu dari tingkat pendidikan yang lebih rendah, pendapatan yang lebih rendah, dan mereka yang baru saja menggunakan internet.

Program literasi informasi sebaiknya dimulai dengan mengajarkan individu tentang proses produksi informasi di media sosial dan kualitas berbagai jenis informasi di sana. Hal ini karena penelitian menunjukkan bahwa mereka yang rentan percaya begitu saja pada informasi yang ada di media sosial. Pengetahuan tentang sains dan teknologi juga dapat membantu dalam memverifikasi informasi yang tersebar di media sosial. Oleh karena itu, rekomendasi kami adalah untuk menambahkan materi tentang sains dan teknologi dalam program literasi informasi untuk mencegah penyebaran hoaks di media sosial.

Dapatkah Chatbot Menggeser Interaksi Manusia?

Dapatkah Chatbot Menggeser Interaksi Manusia? – Chatbot adalah program buatan yang menggunakan teknologi kecerdasan buatan (AI) untuk mensimulasikan percakapan seperti manusia. Istilah “bot” singkatan dari robot internet. Saat ini, chatbot menjadi asisten virtual yang semakin dipopulerkan dan membuat interaksi dengan teknologi semakin mudah.

Alexa, Siri, dan lainnya telah menjadi teman virtual yang mengetahui kebiasaan, rutinitas, hobi, dan minat kita. Bagi perusahaan, chatbot menjadi formula kemenangan velvetmedia.id dalam menghubungkan konsumen dengan aplikasi yang banyak digunakan.

Bot dapat memberikan kenyamanan yang lebih besar daripada aplikasi dan penelusuran web karena chatbot dapat memahami pola ucapan alami dan memberikan sentuhan pribadi dalam antarmuka pengguna yang tidak bersifat pribadi. Namun, kita harus menyadari bahwa berinteraksi dengan chatbot dapat memiliki konsekuensi psikologis yang mendalam, seperti atribusi karakteristik manusia pada komputer atau mesin.

Sebagai bagian dari perkembangan sains dan teknologi, chatbot memberikan kemudahan bagi pengguna dalam mengakses informasi dan berinteraksi dengan teknologi. Namun, kita perlu memperhatikan cara berinteraksi dengan chatbot agar tidak terjebak dalam atribusi antropomorfik yang salah.

Dalam beberapa tahun terakhir, sains dan teknologi telah mengalami kemajuan pesat dalam menghadirkan chatbot sebagai sesuatu yang lebih dekat dengan manusia. Namun, peningkatan humanisasi pada chatbot dapat memicu perubahan paradigma penting dalam bentuk interaksi manusia.

Baca juga: Membuat Inovasi Hidrogen Langsung dari Air Laut Tanpa Perlu Desalinasi

Hal ini dapat berdampak negatif pada cara kita berinteraksi dengan orang lain. Sebagai manusia, otak kita cenderung memilih penyederhanaan daripada kompleksitas. Interaksi komputer sangat cocok dengan ini karena didirikan pada premis isyarat sosial minimal atau dibatasi yang dapat diringkas dalam emotikon, tidak memerlukan banyak upaya kognitif.

Meskipun dapat memudahkan interaksi, chatbot tidak memerlukan keterlibatan emosional dan interpretasi isyarat nonverbal yang dibutuhkan oleh manusia. Interaksi berulang dengan chatbot dapat memicu pembangunan model mental baru yang akan menginformasikan interaksi ini. Ini akan dialami sebagai keadaan pikiran yang berbeda dari mana kita menafsirkan interaksi sosial.

Jika kita terbiasa dengan bentuk interaksi bot ini, akan muncul preferensi untuk ‘komunikasi yang mudah.’ Oleh karena itu, perlu ada kajian lebih lanjut terkait dampak dari peningkatan humanisasi pada chatbot terhadap interaksi manusia agar dapat menghindari dampak negatif dan menjaga keseimbangan antara teknologi dan manusia.

Sejarah Minat  Hobi sampai Keilmuan Kepurbakalaan di Indonesia

Sejarah Minat  Hobi sampai Keilmuan Kepurbakalaan di Indonesia – Perhatian terhadap peninggalan peradaban purbakala di Indonesia telah berkembang sejak abad ke-18, di mana pada saat itu ilmu pengetahuan modern mulai berkembang. Pada awalnya, bidang arkeologi hanya dianggap sebagai minat individu dan kelompok minat di dalam ilmu sosial antropologi, namun semakin berkembangnya minat untuk mengeksplorasi misteri budaya lampau membuat bidang ini semakin populer tidak hanya di Eropa, tapi juga di wilayah-wilayah kolonial termasuk Indonesia yang kala itu masih disebut Hindia Belanda.

Sejarah minat kepurbakalaan velvetmedia.id di Indonesia sudah dimulai sebelumnya oleh sejumlah ilmuwan, seperti naturalis Jerman G.E Rumphius. Kemudian, minat ini dilakukan oleh berbagai profesi di Hindia Belanda, termasuk partikelir atau pegawai pemerintah yang berkecimpung di bidang arkeologi. Namun, semasa Hindia Belanda, para ilmuwan mulai serius dengan bidang ini, dan pada tahun 1778 berdirilah lembaga bernama Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (BG) yang berpusat di Batavia.

Meskipun pada awalnya arkeologi hanya dianggap sebagai minat individu, namun dengan semakin berkembangnya sains dan teknologi, bidang ini menjadi semakin penting dan menuntut keahlian yang lebih tinggi. Oleh karena itu, penting bagi para ahli arkeologi untuk terus mengikuti perkembangan sains dan teknologi agar dapat memahami peninggalan peradaban purbakala dengan lebih baik dan akurat.

BG, atau Bataviaasch Genootschap, adalah sebuah organisasi yang melakukan pengumpulan dan dokumentasi terhadap kebudayaan dan peninggalan purbakala di Nusantara. Laporan hasil dokumentasi yang dilakukan oleh BG di dalam Verdandelingen van het Bataviaasch Genootschap (VBG) melibatkan ilmuwan dan cendekia lokal pada era Politik Etis abad ke-20 awal. Meskipun kekuasaan Belanda sempat terhenti di Hindia, Inggris melanjutkannya dengan ketertarikan yang tinggi terhadap kebudayaan di Nusantara. Salah satu tokoh yang terkenal adalah Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles yang mengedit buku the History of Java yang mendeskripsikan secara rinci tentang bangunan dan benda purbakala di Jawa. Hal tersebut menjadikan buku tersebut sebagai laporan mata-mata untuk mengenal daerah yang hendak ditaklukkan.

Pada masa kependudukan Inggris, BG diganti namanya menjadi Literary Society dan pengumpulan data tetap dilakukan hingga Inggris tidak lagi berkuasa dan kekuasaan dikembalikan ke Belanda pada 1816. Sejarah minat kepurbakalaan di Indonesia kembali dipegang oleh Belanda yang kemudian dipelopori oleh Caspar Georg Karl Reinwardt, pendiri Kebun Raya Bogor. BG kembali aktif dengan pencatatan, dokumentasi termasuk fotografi, dan pemugaran.

Terlibatnya Theodoor van Erp adalah hal yang paling momentum dalam sejarah minat kepurbakalaan di Indonesia. Dia mempelopori kegiatan dokumentasi keberadaan purbakala Candi Borobudur pada tahun 1870-an, saat fotografi sedang populer. Di masa politik etis, dia juga dipercaya oleh pemerintah untuk memugar candi tersebut dari tahun 1907 hingga 1911.

Dalam melaksanakan tugasnya, BG menggunakan teknologi dan sains dalam dokumentasi, seperti fotografi dan pemugaran. Hal ini menunjukkan bahwa dokumentasi dan pemugaran purbakala di Indonesia tidak hanya didasarkan pada keinginan untuk mengetahui sejarah, tetapi juga melibatkan kemajuan teknologi dan sains. Dalam konteks ini, BG dapat dianggap sebagai pelopor dalam pengumpulan dan dokumentasi kebudayaan serta peninggalan purbakala di Indonesia dengan menggunakan teknologi dan sains sebagai pendukungnya.

Di antara pegiat purbakala yang aktif di Indonesia, ada satu nama yang menarik perhatian yaitu J.W. Ijzerman. Beliau bukanlah seorang arkeolog seperti kebanyakan pegiat purbakala lainnya, melainkan seorang insinyur sipil yang juga menjadi inisiator pendirian ITB. Meski begitu, Ijzerman berhasil menemukan kaki asli Candi Borobudur yang terbenam pada tahun 1885 ketika sedang berada di Yogyakarta bersama dengan perkumpulan arkeolog bernama Archeologische Vereniging (AV). Keterlibatan Ijzerman dalam dunia arkeologi ini menunjukkan bahwa sains dan teknologi juga dapat berperan penting dalam bidang kepurbakalaan.

Selain itu, AV yang dipimpin oleh Ijzerman juga pernah melibatkan fotografer terkenal Indonesia, Kassian Cephas, dalam proses dokumentasi temuan-temuan mereka, termasuk relief di Candi Borobudur. Hal ini menunjukkan bahwa kolaborasi antara berbagai disiplin ilmu, seperti arkeologi, sains, dan teknologi, dapat menghasilkan karya-karya yang bermanfaat bagi dunia kepurbakalaan.

Di Indonesia, minat terhadap kepurbakalaan semakin berkembang seiring dengan waktu. Pada tanggal 14 Juni 1913, BG, salah satu tokoh kepurbakalaan di Indonesia, memimpin inisiatif pendirian Oudheidkundige Dienst (OD) yang berfungsi mengurus hal kepurbakalaan di Jawa dan Madura. Tanggal inilah yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Purbakala Nasional di Indonesia. Kepemimpinan Nicholas Johannes Krom, seorang orientalis, epigraf, arkeolog, sejarawan, dan ahli budaya Indonesia, sebagai ketua OD menunjukkan bahwa kepurbakalaan di Indonesia tidak hanya bisa dikerjakan oleh orang-orang dari luar negeri, melainkan juga oleh orang-orang lokal yang memiliki pengetahuan dan keterampilan di bidang sains, teknologi, dan sejarah.

Dalam era yang semakin berkembang dan teknologi yang semakin maju, semakin penting bagi dunia kepurbakalaan untuk membuka diri terhadap berbagai disiplin ilmu, termasuk sains dan teknologi. Dengan demikian, diharapkan bahwa kepurbakalaan di Indonesia dapat terus berkembang dan memberikan kontribusi yang positif bagi bangsa dan negara.

Posisi Oudheidkundige Dienst in Indonesie (ODI) sangat kuat dalam pengaturan kebijakan konservasi peninggalan purbakala dan kehidupan budaya masyarakat lokal. Melalui kegiatan sains dan teknologi, ODI berupaya untuk memengaruhi pengambilan keputusan dalam pelestarian warisan budaya di seluruh Nusantara. Meski pernah mengalami vakum ketika Jepang menginvasi Hindia Belanda pada tahun 1942, ODI terus berjuang untuk mengembangkan aktivitasnya pasca kemerdekaan Indonesia.

Sebagai lembaga yang kompeten di bidang kepurbakalaan, ODI telah mengalami beberapa perubahan di masa lalu. Pemerintah kolonial sempat menghidupkan kembali ODI pada tahun 1945 setelah Jepang menyerah kepada Sekutu, namun kini lembaga tersebut telah berganti nama menjadi Oudheidkundige Dienst in Indonesie (ODI). Para ilmuwan terus aktif mendokumentasikan pelbagai peninggalan cagar purbakala secara verbal, visual, video, dan piktorial dengan memanfaatkan sains dan teknologi terkini.

ODI juga telah bekerja sama dengan Djawatan Urusan Barang-Barang Purbakala dalam menjaga kelestarian warisan budaya. Banyak mantan pekerja dinas ODI turut membantu Djawatan Urusan Barang-barang Purbakala ini karena khawatir akan rusak dan hilang kalau tidak dilakukan perlindungan. Dalam era teknologi modern seperti sekarang, ODI terus berinovasi dan mengembangkan metode pelestarian warisan budaya dengan memanfaatkan sains dan teknologi. Hal ini membuktikan bahwa ODI tetap menjadi lembaga yang kuat dalam pengaturan kebijakan konservasi peninggalan purbakala dan kehidupan budaya masyarakat lokal.

Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1949, Dinas Purbakala dibentuk sebagai pengganti Djawatan Purbakala dan ODI yang sebelumnya diakui oleh pemerintah Belanda. Sejarah minat kepurbakalaan di Indonesia menunjukkan bahwa dinas ini berada di bawah naungan Kementerian Pengadjaran, Pendidikan, dan Kebudajaan pada tahun 1951, dengan R. Soekmono sebagai ketuanya. Soekmono adalah sarjana arkeologi pertama di Indonesia yang berhasil memugar kembali candi Borobudur pada tahun 1973 sampai 1983. Referensi pemugaran ini berasal dari dokumentasi pemugaran pertama oleh Theodoor van Erp.

Dinas Purbakala kemudian berubah nama menjadi Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional (LPPN) pada tahun 1964. Pada masa ini, pekerjaan LPPN meluas hingga membuka kantor cabang di luar Jawa. Pekerjaan LPPN adalah perlindungan dan pemugaran dengan cara yang lebih terstruktur, di bawah Direktorat Kebudajaan. Di dalamnya, dibagi antara pekerjaan masa prasejarah dan klasik (Hindu-Buddha).

Baca juga: Selain Jaringan Komunikasi 4G dan 5G, Kini Ilmuwan Kembangkan 6G

Transformasi dan pelestarian purbakala di Indonesia terus dilakukan oleh dinas ini hingga saat ini. Berbagai kebijakan memengaruhi aktivitas mereka, yang terkadang menghambat atau memperlancar pekerjaan. Selain lewat kedinasan dan direktorat, organisasi kepurbakalaan di Indonesia juga berkembang dan selalu didukung oleh undang-undang. Undang-undang tersebut meliputi Monumenten Ordonantie 1931 Stadblad 238 dari masa Hindia Belanda, UU No.5 tahun 1992 tentang Cagar Budaya, hingga yang baru-baru ini dalam UU No.11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya.

Pentingnya pelestarian purbakala di Indonesia memang tidak dapat diragukan lagi. Namun, selain melalui pekerjaan manual, sains dan teknologi juga dapat dimanfaatkan untuk mempercepat dan mempermudah pekerjaan di bidang ini. Oleh karena itu, peran sains dan teknologi dalam kegiatan pelestarian purbakala di Indonesia harus terus dikembangkan dan ditingkatkan. Dengan begitu, pelestarian dan pengembangan warisan budaya Indonesia dapat dilakukan dengan cara yang lebih efektif dan efisien.

Pengaruh Teknologi Yunani Kuno

Pengaruh Teknologi Yunani Kuno – Pengaruh Yunani Kuno di dunia modern sangat luas, terutama dalam bidang sains dan teknologi. Terdapat banyak penemuan teknik Yunani Kuno yang masih digunakan sampai sekarang. Salah satu contohnya adalah Sekrup Archimedes, penemuan teknik yang dikembangkan oleh ilmuwan terkenal asal Sisilia, Archimedes. Penemuan ini sangat bermanfaat dalam mengangkat air dan telah menjadi pusat dari banyak kemajuan selanjutnya.

Meskipun penemuan ini telah ada sejak ratusan tahun yang lalu, namun Sekrup Archimedes masih memiliki banyak aplikasi modern. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya penemuan teknologi Yunani Kuno dalam dunia modern kita saat ini. Oleh karena itu, kita harus selalu menghargai dan mempelajari warisan sains dan teknologi velvetmedia.id dari peradaban kuno seperti Yunani Kuno agar dapat terus memperbaiki kehidupan kita di masa depan.

Sejak ditemukannya, aplikasi Sekrup Archimedes yang paling umum digunakan adalah untuk irigasi. Teknologi ini mampu mengangkat air dari sumber air ke saluran irigasi yang efisien untuk pasokan air pertanian. Selain itu, aplikasi modern lain dari sekrup Archimedes adalah sebagai teknologi berkelanjutan yang dimanfaatkan untuk menghasilkan tenaga listrik dari tenaga air.

Dalam aplikasi ini, desain sekrup serupa yang berbeda, dengan air mengalir melalui sekrup yang mendorongnya ke dalam gerakan dan menghasilkan energi kinetik. Hal ini sangat bermanfaat dalam sungai dengan aliran yang lambat. Dengan pergerakan turbin yang lambat di sungai dengan aliran rendah, turbin ulir hidrodinamik dapat terintegrasi dengan baik dengan ekologi alami dan kehidupan akuatik sungai.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sains dan teknologi telah memberikan banyak manfaat bagi masyarakat, terutama dalam lingkungan pertanian dan energi terbarukan. Sebagai profesional, kita dapat terus mengembangkan teknologi yang sudah ada untuk mendorong kemajuan dan keberlanjutan di masa depan.

Pada tahun 1901, ditemukan mekanisme roda gigi dari kapal karam di dekat pulau Yunani Antikythera. Meski terbagi menjadi 82 fragmen, mekanisme tersebut dianalisis oleh para ilmuwan internasional dan diketahui menggunakan gearing diferensial untuk memprediksi pola astronomi. Perkiraan tanggal penemuan mekanisme ini berkisar antara 100 SM dan 200 SM dan sejalan dengan studi astronom Rhodian, Hipparchus, tentang orbit bulan.

Mekanisme Antikythera merupakan contoh teknologi paling awal dari jenisnya dan memberikan wawasan yang signifikan tentang kemajuan teknologi di Yunani Hellenistik akhir. Sebagai artefak roda gigi terawetkan paling awal di Eropa, mekanisme ini membuktikan peradaban dengan pemahaman lanjutan tentang roda gigi diferensial. Temuan ini membuktikan keterkaitan antara sains dan teknologi dalam menghasilkan kemajuan pada masa itu.

Pada tahun 1959, fisikawan Derek John de Solla Price melakukan analisis terhadap Mekanisme Antikythera dan membandingkannya dengan komputer analog modern dalam hal efisiensi perhitungan. Dalam fragmen perangkat yang tersisa, prasasti menyatakan bahwa pengguna dapat memasukkan tanggal untuk mendapatkan prediksi pola astronomi yang rumit. Mekanisme ini merupakan roda gigi dengan tiga poros penggerak, dengan poros penggerak di kedua sisi poros utama berputar dengan kecepatan berbeda.

Penggunaan teknologi roda gigi diferensial pada awal abad ke-20 telah mengubah cara perhitungan dilakukan dalam berbagai bidang sains dan teknologi. Teknologi roda gigi diferensial bahkan digunakan pada odometer yang ditemukan sekitar abad ke-3 SM dan digunakan secara luas selama Periode Helenistik akhir. Konsep odometer dibahas oleh Archimedes dalam ‘Measurement of a Circle’ pada tahun 240 SM dan Heron dari Alexandria mendeskripsikan odometer dalam teksnya ‘On the Dioptra’.

Bukti odometer pada masa Zaman Klasik berasal dari jarak yang didokumentasikan saat penaklukan Alexander Agung. Dalam sains dan teknologi Yunani Kuno, bematis adalah ahli dalam mengukur jarak dan tanah. Jarak antara Hecatompylos dan Alexandria Areion yang dicatat oleh bematis Alexander Agung, sebagian dari jalur sutra, akurat hingga 0,2% pada jarak 527 mil. Tingkat akurasi ini menunjukkan bahwa beberapa bentuk odometer telah digunakan untuk mengukur jarak. Meskipun tidak jelas bentuk odometer ini pada awal Periode Helenistik, pada awal era Romawi, kereta atau gerobak dilengkapi dengan sistem persneling digunakan untuk mengukur jarak.

Teknologi ini menjadi komponen penting Kekaisaran Roma karena merupakan pusat pembangunan jalan dan memenuhi persyaratan pasokan untuk kampanye militer. Perhitungan Archimedes dalam teks “Measurement of a Circle” yang dibuat pada 60 SM, masih berlaku untuk odometer yang digunakan di mobil saat ini, menggunakan jumlah putaran dan keliling roda untuk mengukur jarak yang ditempuh.

Deskripsi gimbal pertama yang diketahui berasal dari Philo dari Bizantium pada akhir abad ke-3 SM. Philo adalah seorang tokoh penting dalam sejarah sains dan teknologi yang lahir di Bizantium dan tinggal di Aleksandria. Teks-teks Philo mencakup deskripsi pertama yang diketahui dari sejumlah penemuan teknik, termasuk kincir air dan penggerak rantai untuk memuat ulang panah berulang. Selain itu, termoskop Philo juga merupakan pendahulu termometer yang digunakan saat ini.

Deskripsi gimbal Philo sangat menarik karena menggambarkan tempat tinta yang dipasang di dalam pot delapan sisi dengan lubang di setiap sisinya. Tempat tinta dipasang di dalam sejumlah cincin logam pada sumbu yang berbeda yang berarti bahwa di sudut mana pun pot diputar, tempat tinta tetap tegak. Ini berarti tinta tidak akan keluar dari lubang, dan pot dapat diletakkan di sisi mana pun. Gimbal ini memungkinkan dukungan berputar yang memungkinkan rotasi eksternal sambil menjaga item dukungan tetap tegak. Saat ini, konsep gimbal ini digunakan dalam berbagai konteks.

Dengan demikian, kontribusi Philo dalam sejarah sains dan teknologi tidak dapat diabaikan. Ia telah memberikan kontribusi berharga dalam dunia teknologi dengan penemuan gimbal yang berhasil memudahkan kehidupan manusia. Dalam konteks ini, Philo juga menunjukkan betapa pentingnya sains dan teknologi dalam kehidupan kita. Oleh karena itu, kita harus terus mendukung penelitian dan pengembangan di bidang sains dan teknologi agar dapat memajukan kehidupan manusia lebih baik di masa depan.

Salah satu contoh penerapan sains dan teknologi adalah dalam penggunaan gimbal 3 sumbu untuk menstabilkan kamera. Gimbal ini mampu menjaga stabilitas dan sumbu kamera saat digerakkan oleh operator. Meski begitu, analisis terbaru menunjukkan bahwa terjemahan mengenai gimbal ini perlu dipertanyakan karena menyertakan karakter Yunani yang tidak digunakan selama 800 tahun pada saat penerjemahannya.

Ternyata, penulis Romawi Athenaeus Mechanicus telah mendeskripsikan perangkat serupa gimbal dalam teksnya ‘On Machines’ yang disusun pada abad ke-1 SM, menunjukkan bahwa teknologi ini telah dikembangkan lebih lanjut pada awal era Romawi.

Sementara itu, lift atau elevator pertama dibangun oleh Archimedes sekitar tahun 236 SM dan dijelaskan oleh Arsitek Romawi Vitruvius. Penggunaan sistem katrol dan winch, yang didokumentasikan dengan baik di Yunani Kuno, bertanggung jawab atas banyak pencapaian arsitektur pada masa itu. Archimedes dianggap telah menemukan katrol majemuk pertama, dengan catatan paling awal tentang sistem winch yang ditemukan dalam sebuah teks oleh sejarawan Yunani Herodotus.

Dengan demikian, penggunaan sains dan teknologi telah dimanfaatkan secara luas sejak zaman kuno untuk menciptakan inovasi dan kemajuan dalam berbagai bidang, termasuk di bidang arsitektur dan fotografi.

Katrol merupakan salah satu penemuan penting dalam sejarah sains dan teknologi yang telah digunakan dalam berbagai konteks. Penggunaannya dalam membangun beberapa struktur Yunani Kuno yang paling mengesankan membuktikan keunggulan mekanis dari penemuan ini. Dalam sejarahnya, katrol diketahui telah ada sejak Dinasti ke-12 Mesir Kuno. Namun, pengenalan katrol majemuk oleh Archimedes membantu meningkatkan daya ungkit mekanis dari katrol tersebut.

Katrol majemuk menggabungkan katrol tetap dan bergerak untuk meningkatkan keuntungan mekanis yang lebih besar. Hal ini dibuktikan dengan alur yang ditemukan terpotong pada batu di Kuil Apollo di Delphi yang menunjukkan bahwa sistem katrol diterapkan dengan derek di Yunani Kuno sejak abad ke-7 SM. Beberapa balok di candi yang beratnya hampir 400kg menunjukkan bahwa beberapa bentuk derek hampir pasti diperlukan untuk membuat proyek ini menjadi mungkin.

Baca juga: Bidang Akuntansi ChatGPT Masih Belum Bisa Menandingi Manusia

Bangsa Romawi mengadopsi penggunaan derek, katrol, dan derek yang dikembangkan ini dalam beberapa prestasi arsitektur yang paling dikenal di dunia kuno. Penemuan teknik Yunani Kuno seperti Mekanisme Antikythera yang mempesona, odometer dan gimbal, elevator, dan sekrup Archimedes adalah beberapa contoh dari kemajuan teknologi yang telah dihasilkan.

Dalam kesimpulannya, penemuan katrol dan kemajuan teknologi Yunani Kuno telah membuka jalan bagi banyak inovasi di bidang teknologi dan sains yang kita gunakan saat ini. Dari kecil hingga besar, katrol dapat digunakan dalam berbagai konteks dan tetap menjadi penemuan penting dalam sejarah manusia.